Tarbiyah Dalam Wahdah Islamiyah

Kamis, 03 Januari 2019

Tarbiyah Dalam Wahdah Islamiyah


Untuk mereka yang masih ragu akan liqo/tarbiyah (Syubhat-syubhat seputarnya).

Muqaddimah

Liqo merupakan bentuk masdar dari kata "لقي" yang bermakna bertemu/pertemuan. 
Adapun tarbiyah, ia adalah masdar dari kata "ربا" - "يربو" yang bermakna bertambah sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Jauhari rahimahullah dalam Ash Shihahnya (6/2350), beliau menambahkan bahwa lafadz tarbiyah dapat diberikan kepada segala sesuatu yang berkembang, seperti seorang anak, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.

Sedangkan menurut Imam Ibnul Atsir rahimahullah maka beliau melihat bahwa asal kata tarbiyah adalah "الرب" yang berarti  yang menguasai, tuan, yang mengurus, yang menumbuhkan, yang memberi, apabila disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah Allah ta'ala, dan apabila disandarkan kepada sesuatu maka ia bermakna selain Allah, seperti "رب كذا" pemilik hal ini. Dari kata rabb inilah lafadz tarbiyah diambil untuk kata rabbani, yang bermakna seorang alim yang mengajarkan ilmu yang sederhana sebelum mengajarkan ilmu yang lebih kompleks (An Nihayah 2/178-182).

Tarbiyah dapat dimaknai secara berbeda-beda, namun kesemua pendapat para ulama dapat dikembalikan pada makna ucapan Imam Al Munawi rahimahullah bahwa tarbiyah adalah pembentukan sesuatu sedikit demi sedikit hingga sampai pada kondisi sempurnanya (At Tauqif fi Muhimmat Ta'arif hal. 95).

Tarbiyah bermakna pembentukan seorang insan dari berbagai sisi kehidupannya hingga sampai pada kondisi sempurna (Ushul Fikr At Tarbawy fil Islam, hal. 15).

Satu hal yang senantiasa menyertai tarbiyah adalah unsur tadriij atau proses yang berkelanjutan serta bertahap sedikit demi sedikit.

Tarbiyah yang kita kenal adalah pertemuan pekanan yang dilakukan oleh sekelompok ikhwah/akhwat dibawah bimbingan seorang murabbi guna mengkaji kajian-kajian dinul islam.

Menurut Ustadz Qasim Saguni hafidzahullah dalam salah satu uraiannya tentang tarbiyah, "Kalau kita meminjam istilah sistem pendidikan yang ada sekarang, tarbiyah termasuk sistem pendidikan non formal yang memiliki kurikulum dan tingkatan-tingkatan atau yang disebut marhaliyah". Selanjutnya beliau menegaskan bahwa tujuan dakwah umum dan tarbiyah ini sebenarnya sama yakni agar orang memahami dan mau mengamalkan Islam. Namun yang berbeda adalah dalam penerapan metodenya. "Kalau dalam dakwah umum pesertanya banyak, tidak terbatas, berbeda dengan tarbiyah yang pesertanya dibatasi (dalam satu halaqah)".

Dilihat dari proses berlangsungnya, tujuan dan manfaat antara apa yang dihasilkan oleh taklim dan tarbiyah, maka bisa dipastikan bahwa ada sisi persamaan dan perbedaan antara keduanya. Adapun sisi persamaannya diantaranya adalah:

1. Keduanya dilaksanakan secara kolektif dengan hubungan timbal balik antara muallim dan mutaallim dalam kajian taklim, dan murabbi dan mutarabbi dalam kajian tarbiyah.

2. Keduanya merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Sedangkan sisi perbedaan antara taklim dan tarbiyah, diantaranya:

1. Taklim adalah proses transfer maklumat yang sangatlah mudah, oleh karena hadirnya banyak mutaallim yang mendengarkan taklim tersebut. Sedangkan dalam proses tarbiyah, seorang murabbi tidak akan bisa mentarbiyah ribuan orang dalam waktu yang bersamaan, karena ia dibangun di atas unsur kebersamaan yang intens.

2. Taklim memiliki keterbatasan pada sisi transfer ilmu semata, sedangkan tarbiyah lebih menitik beratkan pada transfer ilmu disertai penerapannya dalam kehidupan seorang mutarabbi, sehingga diharapkan sang mutarabbi dapat menjadi seorang mukmin, muslih, mujahid, muta'awin dan mutqin melalui proses tarbiyah yang ia laksanakan.

3. Dengan banyaknya jumlah mutaallim yang hadir dalam taklim maka hampir bisa dipastikan seorang muallim tidak akan mengenal mereka satu persatu. Sedangkan dalam tarbiyah, karena jumlah peserta mutarabbi dalam satu halaqah terbatas pada jumlah 10 orang atau lebih, maka jalinan ukhuwwah jauh lebih terasa dan sistem pengontrolan terhadap perkembangan setiap mutarabbi jauh lebih mudah dilakukan oleh sang murabbi.

4. Seorang mutaallim akan lebih banyak bersinggungan dengan sisi ilmiah dari seorang muallim dalam taklim, sehingga akan lahir dari taklim pribadi yang ilmiah. Sedangkan di dalam tarbiyah maka seorang mutarabbi jauh lebih banyak bersinggungan dengan cara pandang, perasaan, akhlaq, dan kebiasaan seorang murabbi, sehingga keterampilan, akhlaq, adab dan kecerdasan emosi akan terbentuk melalui tarbiyah. Oleh karena itu menggabungkan antara taklim dan tarbiyah adalah cara terbaik dalam mempelajari dinul islam dan pengembangan kepribadian seorang muslim.

Dan masih banyak sisi-sisi perbedaan antara taklim dan tarbiyah.

*Syubhat-syubhat seputar tarbiyah*

*Syubhat Pertama:*

Tarbiyah adalah bidah, karena sistem pengajarannya dibimbing oleh kakak kelas atau kakak tingkatan. Dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Adapun cara yang benar adalah seseorang datang kepada para ulama atau ahlu dzikr/ahlul ilmi, sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nahl ayat 43:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)

Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

*Jawaban:*

1. Tarbiyah adalah sebuah wasilah/cara/metode dalam menuntut ilmu, ia bukanlah gaayah atau tujuan yang diinginkan secara dzatnya sejak awal. Sehingga selama tarbiyah merupakan wasilah maka berlaku padanya kaidah "Wasilah-wasilah mendapatkan hukum maqasid (tujuan yang diinginkan)", maka selama tujuan yang diinginkan adalah sesuatu yang masyru' atau disyariatkan, maka wasilah apapun dibolehkan selama tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar dari maslahat yang dituju. Dan selama ia adalah wasilah, maka hukumnya tidak boleh dipisahkan atau berdiri sendiri dari tujuan atau maslahat yang diinginkan.

2. Benarkah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah menggunakan sistem bimbingan melalui kakak tingkatan ? Jawabannya pernah, Rasulullah juga menggunakan sistem kakak tingkatan dalam pengajaran islam kepada para sahabat beliau yang baru memeluk agama islam. Contohnya pengutusan Mus'ab bin 'Umair radiyallahu 'anhu ke Madinah untuk mengajarkan dinul islam kepada penduduk Madinah. Jika dicermati maka Mus'ab bin 'Umair dapat digolongkan sebagai kakak tingkatan dari para sahabat yang baru saja memeluk agama islam dari penduduk kota Madinah. Contoh lainnya, utusan-utusan yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari kabilah-kabilah Arab yang telah memeluk agama islam. Setelah mereka belajar dan menuntut ilmu dari Rasulullah, mereka kembali untuk mengajar keluarga dan masyarakat kabilah mereka.

3. Contoh lainnya, penunjukan 12 orang  pada peristiwa Baiat 'Aqabah kedua untuk menjadi nuqabaa (wakil-wakil) kepada kabilah-kabilah penduduk kota Madinah yang baru masuk islam saat itu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15798), At Tobary (2/363), At Tabrany (no. 174), Al Hakim (no. 5100)  dan Al Baihaqy (2/449) dari jalur Muhammad bin Ishaq, Ma'bad bin Ka'ab bin Malik menyampaikan kepadanya, dari saudaranya 'Ubaidullah bin Ka'ab, dari Ayahnya Ka'ab bin Malik radiyallahu 'anhu (dan beliau adalah salah seorang yang ikut dalam peristiwa Baiat 'Aqabah)...Dalam hadis panjang ini tatkala para sahabat telah membaiat Rasulullah, maka beliau kemudian bersabda:

أَخْرِجُوْا إِلَيَّ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيْبًا يَكُوْنُوْنَ عَلَى قَوْمِهِمْ.

"Pilihlah 12 orang naqib yang akan mengurusi urusan kalian".

Meskipun hadis ini diperselisihkan derajat sanadnya oleh para ulama hadis, namun cukuplah hadis Sa'ad bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya (no. 1709) menunjukkan bahwa penunjukan nuqabaa ini tsabit dan telah terjadi pada malam Baiat 'Aqabah. Dimana Sa'ad radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya Aku adalah salah seorang naqib yang telah berbaiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam".

Berkata Ibnul Atsir rahimahullah dalam An Nihayah (5/101) "An Nuqabaa adalah jamak dari lafadz naqib, yaitu seorang yang paling mengetahui tentang keadaan suatu kaum, dan yang paling dikedepankan serta ditugaskan untuk memeriksa keadaan kaum tersebut". 

Sampai sini dapat dipahami bahwa penggunaan naqib atau penunjukan seseorang untuk menjadi wakil untuk sekelompok kaum muslimin dalam proses pembelajaran islam, ternyata telah memiliki dasar yang jelas dalam sejarah awal islam.

4. Apabila seorang ustadz mempersoalkan metode menuntut ilmu sebagian teman-teman dengan cara liqo ataupun tarbiyah, dimana orang yang berperan sebagai sang murabbi atau pengajar di dalamnya adalah kakak tingkatan mereka, maka rupanya hal ini pula yang kami temukan di kota Madinah (bahkan mungkin sampai saat sekarang masih dilakukan oleh para asatidzah kakak tingkatan mahasiswa Universitas Islam Madinah). Seingat kami para adik tingkatan diberikan kajian pekanan oleh para senior dan kakak tingkatan mereka, dan hal ini tak pernah dipersoalkan oleh siapapun. Oleh karena masalah ini adalah sesuatu yang lumrah ditemukan. Contoh lainnya, halaqah tahfidz Al Quran yang mudaj didapati dimana-mana, baik di Makkah dan Madinah, atau di negeri kaum muslimin lainnya. Antum akan temukan para muhaffidz Al Quran adalah mereka yang telah melalui jenjang yang lebih tinggi dalam bidang ilmu Al Quran dan memiliki skill serta kemampuan untuk mengidarah/memanajemen halaqah yang diamanahkan kepadanya. 

Tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah yang terdapat dalam surah An Nahl ayat 43, dimana Allah memerintahkan kita untuk bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kita tidak mengetahui. Memang benar bahwa yang paling afdhal adalah bertanya langsung dan mengambil ilmu kepada para ulama besar yang mu'tabar dan diketahui kedalaman ilmunya, tapi Ayat ini tidaklah membatasi makna Ahlu Dzikr atau Ahlul Ilmi pada batasan tertentu, dimana satu-satunya orang yang wajid untuk diambil ilmunya hanyalah orang-orang yang telah mendalam ilmunya dari kalangan ulama besar. Melainkan siapapun yang memiliki ilmu pengetahuan, maka ia pantas untuk ditanyai berdasarkan sekadar apa yang ia ketahui. Hal ini berdasarkan sebab turunnya surah An Nahl ayat 43 tersebut, berkata Imam At Tobary rahimahullah (Tafsir At Tobary 17/207):
"Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Allah ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau wahai Muhammad kepada sebuah umat dari seluruh umat yang ada, untuk berdakwah kepada tauhid dan menjalankan perintah serta menjauhi larangan Kami, melainkan mereka (seluruh utusan tersebut) adalah laki-laki dari keturunan Adam yang Kami wahyukan kepada mereka, dan para utusan itu bukanlah Malaikat...(Maka bertanyalah kepada Ahlu Dzikir) tentang masalah ini, maka Allah berkata kepada orang kuffar Quraisy, "Apabila kalian tidak mengetahui masalah ini, maka bertanyalah kepada Ahlu Dzikr yaitu orang-orang yang telah membaca kitab Taurat dan Injil". Dan pendapat ini adalah pendapat Mujahid, Al A'masy dan Ibnu 'Abbas, pendapat lainnya yang diriwayatkan dari Ibnu Zaid dan Abu Ja'far bahwa makna Ahlu Dzikr adalah Ahlul Quran.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, oleh karena mustahil bagi orang-orang kuffar Quraisy akan bertanya kepada Ahlul Quran saat itu dari sahabat Nabi. Sehingga makna yang tepat bahwa mereka akan bertanya kepada Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani.

Dinisbatkannya Ahlu Dzikr kepada orang-orang terdahulu bukan karena mereka telah menguasai seluruh Taurat dan Injil, namun disebabkan ilmu yang mereka ketahui tentang prihal ciri para Nabi-nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Tetapi berdasarkan kaidah bahwa ibrah itu berdasarkan keumuman lafadz, dan bukan kekhususan sebabnya, karena itu Ibnu 'Athiyah berkata dalam tafsirnya (4/75) "Ahlu Dzikr maknanya umum, yaitu siapapun yang memiliki ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah ta'ala".

5. Bilamana seorang muslim hanya boleh bertanya kepada para ulama besar, maka seharusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan seluruh sahabatnya untuk datang dan belajar secara langsung kepada beliau. Namun tidak demikian adanya, beliau mengutus Mus'ab bin 'Umair ke kota Madinah, Muadz bin Jabal ke Negeri Yaman, Abu 'Ubaidah bin Al Jarrah ke negeri Yaman, kesemuanya ditugaskan untuk mendakwahkan dan mengajarkan agama Islam.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda di dalam hadis riwayat Bukhari (no. 3461) "Sampaikan dariku walaupun satu ayat". Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menukil dari Al Nahrawani bahwa makna "Walaupun satu buah ayat" yaitu hendaknya seseorang segera menyampaikan setiap ayat Al Quran (ilmu) yang telah ia dengarkan agar hujjah yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sampai kepada seluruh manusia". 

Alhamdulillah sebuah kesyukuran karena seorang murabbi di halaqah-halaqah tarbiyah kita adalah mereka yang telah melalui masa pembelajaran yang intensif dalam halaqah tarbiyah mereka, ditambah pengadaan ujian seleksi dan kelayakan seseorang untuk menjadi murabbi, seharusnya menjadikan kita lebih tsiqah, meskipun sebagai murabbi maka ia juga tetap diharapkan bersikap wara' atas persoalan-persoalan yang mungkin belum diketahuinya, dan menanyakannya kepada mereka yang lebih berilmu. Dengannya kita percaya kepada halaqah tarbiyah kita, sekaligus tetap bersemangat untuk menimba ilmu dari kajian-kajian para ulama dan asatidzah.

Syubhat Kedua:

Sistem tadarruj yang dipergunakan. Tadarruj/marhaliyah/perjenjangan dalam menuntut ilmu bukanlah sebuah masalah. Namun bila jenjang liqo/tarbiyah didasarkan kepada loyalitas seorang mutarabbi terhadap yayasan penyelenggara liqo tersebut, maka inilah yang menjadi masalah.

*Jawaban:*

Alhamdulillah tarbiyah yang dilaksanakan oleh Wahdah Islamiyah sejak awal telah mempergunakan sistem marhaliyah atau perjenjangan. Hal ini adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah pembelajaran dan menuntut ilmu. Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini, silahkan lihat tulisan Al Ustadz Maulana La eda hafidzahullah pada link berikut ini: http://wahdah.or.id/tarbiyah-ber-marhalah/

Adapun tentang sistem perjenjangan dengan berdasarkan loyalitas seorang mutarabbi kepada ormas Wahdah Islamiyah, maka hal ini tidaklah benar sama sekali. Setidaknya ada 2 alasan;

1. Karena siapapun yang mengikuti tarbiyah, maka ia diharuskan untuk mengikuti jenjang yang paling dasar terlebih dahulu. Jika saja sistem perjenjangan berdasarkan loyalitas itu benar adanya, maka anak para asatidzah seharusnya tidak perlu mengikuti jenjang awal tarbiyah, namun tidak demikian adanya. Mereka tetap harus mengikuti perjenjangan tarbiyah dari awal.

2. Hal ini disebabkan karena tarbiyah yang dikenal oleh Wahdah Islamiyah didasarkan pada pemahaman seseorang terhadap dinul islam. Semakin rendah pemahaman seseorang, maka semakin pantas pula ia mengikuti jenjang awal tarbiyah. Namun bila ada ikhwah atau akhwat yang telah memiliki keilmuan yang memadai, maka bukan tidak mungkin bila ia langsung mengikuti jenjang pertengahan atau tertinggi, mengapa ? Karena hal ini sekedar wasilah saja, dan fleksibel, sedang tujuan awalnya adalah untuk talabul ilmi. 

Adapun karakteristik yang terbentuk pada pribadi seorang mutarabbi, sebagai seorang mukmin, muslih, mujahid, mutaawin dan mutqin, maka ini adalah sifat-sifat yang terbentuk setelah mengikuti proses tarbiyah sekian lama, dan ia menjadi barometer kesuksesan sebuah proses tarbiyah, bukan barometer atau standart jenjang tarbiyah.

Syubhat Ketiga:
Metode pelaksanaan liqo atau tarbiyah yang sembunyi-sembunyi.

Bersambung...
Wallohu A'lam

✒ Rachmat Badani

0 komentar :

Posting Komentar