Fenomena Saling Menyesatkan Antar Pengaku Salafi

Sabtu, 05 November 2016

Fenomena Saling Menyesatkan Antar Pengaku Salafi


وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦

Artinya : "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya" (QS Al-Isra' 36).

Tentang ayat ini Qatadah rahimahullah berkata : " Maknanya : Janganlah mengatakan ' saya lihat ' padahal engkau belum lihat, atau ' saya dengar ' padahal engkau belum dengar, atau ' saya tahu ' padahal engkau belum tahu"

Suatu subuh di Masjid Nabawi, terdengar dua bunyi dentuman dari arah timur. Rasulullah yang baru saja menunaikan shalat subuh bersama para sahabatnya, lalu mengumumkan bahwa dentuman pertama adalah pertanda munculnya pulau baru (baca : Buton) disebelah timur belahan dunia, adapun dentuman kedua adalah pertanda munculnya pulau lain (baca : Muna) yang bersebelahan dengan pulau Buton. Kemudian beliau mengirim dua sepupu beliau yang bernama Abdul Ghafur dan Abdul-Syakur untuk mencari letak kedua pulau tersebut. Selama 60 tahun mereka berkelana hingga tibalah mereka ditanah Buton Muna".

Anda yang berasal dari Buton atau Muna tak perlu malu untuk mengakui bahwa dongeng klasik yang seperti ini adalah salah satu " kreatifitas murahan" sebagian penulis sejarah Buton ataupun Muna. Sebab itu bukan hal yang membanggakan jika kisah ini diabadikan ataupun dijadikan sebagai pengantar dalam muqaddimah buku sejarah Buton.

Terlepas dari motif dan tujuan terciptanya kisah ini, namun ia hanyalah secuil dari kisah dongeng alias kedustaan atas nama agama, Nabi, dan sejarah. Dan apabila anda membaca dan menelaah dongeng-dongeng yang berasal dari suku atau daerah lain, saya yakin " kehebatan dongeng buton muna " diatas tidak akan ada apa-apanya. Sayangnya, kedustaan semacam ini masih terus dilestarikan turun temurun. Allaahul-Musta'an.

Kisah lain. Disuatu pagi menjelang bulan Ramadhan tiga tahun lalu, muncul seorang dai kondang di salah satu acara TV swasta, dengan gaya penampilan dan retorika ceramah khas-nya sang dai mengejutkan saya dengan sebuah keutamaan aneh bulan Ramadhan. Dengan lantang dan tak merasa bersalah ia menegaskan "Barangsiapa yang menyambut Ramadhan sambil tersenyum dan mengucapkan ' Marhaban Ya Ramadhan ' maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni".

Kita semua tak perlu bersusah payah membuka literature kitab-kitab hadis atau buku-buku fadhilah amal untuk membuktikan shahih tidaknya ucapan ini, toh –terlepas dari motif dan niatnya sang penceramah- saya yakin seyakin-yakinnya itu hanyalah statemen yang dipungut dari khayalannya semata.

Dua kisah diatas, cukup sebagai sample bahwa meskipun luasnya objek kejujuran tak terhingga namun ternyata berdusta begitu sangat digandrungi oleh sebagian orang. Anehnya, pada sebagian kelompok dan sekte sesat kedustaan ini malah dijadikan sebagai salah satu pokok ajaran dan dasar keimanan, Syiah misalnya yang populer dengan kedustaan ala taqiyahnya. Walaupun hidung belang pelakon-pelakonnya dinegeri ini sudah tak lagi bertopeng dan konspirasi ala 'khumenii' atau bahkan 'khumaini' mereka sudah menjadi jajanan publik (atau dengan kata lain, walaupun mereka sudah tertangkap basah), kedustaan (taqiyah) dalam mengelabui Ahli Sunnah di negeri ini masih tetap menjadi senjata utama mereka. Makanya jangan heran jika Syaikhul Islam menyatakan bahwa mereka adalah kaum yang paling dusta, bodoh, dan sesat.1

Mirisnya, Sekali berdusta tetap berdusta. Begitu kira-kira gambaran dampak awal dari aib yang satu ini, sebab satu dosa biasanya akan membuka peluang terciptanya dosa lain, seperti halnya suatu kebaikan akan membuka pintu-pintu kebaikan lainnya. Bahkan tidak sampai disitu, kedustaan juga akan mengantarkan pelakunya pada perbuatan fajir, zalim dan maksiat, yang akhirnya menjerumuskan pelakunya kedalam neraka. sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam yang muttafaq 'alaihi :

«عليكم بالصدق؛ فإنه يهدي إلى البر، وإن البر يهدي إلى الجنة، وإن الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا، وإياكم والكذب؛ فإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار، وإن الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا»

Artinya : "Berlaku jujurlah, sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada amalan kebaikan, dan sesungguhnya amalan kebaikan ini akan mengantarkan ke surga. Sungguh seseorang akan terus menerus jujur hingga ditulis (ditetapkan) disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan janganlah kalian berdusta, sebab sesungguhnya dusta itu mengantarkan pada perbuatan fajir (zalim), dan perbuatan fajir ini akan mengantarkan ke neraka. Sungguh seseorang akan terus-menerus berdusta hingga ditulis (ditetapkan) disisi Allah sebagai pendusta"2.

Cukuplah sebagai dalil, fitrah kita sangat alergi dengan yang namanya dusta ini, apalagi didukung begitu banyak dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Karenanya, kita tak perlu takjub dengan Hisyam bin Abdul-Malik tatkala berujar : "Demi Allah, andainya ada penyeru dari langit mengumumkan : Sesungguhnya Allah telah menghalalkan dusta, niscaya saya tidak mau pernah berdusta".3

Ibnul-Qayim rahimahullah dalam kitabnya I'laam Al-Muwaqqi'in (1/91) mengungkapkan bahwa alasan utama para ulama menyatakan kedustaan ini merupakan dosa yang sangat besar adalah karena ia merupakan sifat yang secara khusus Allah hanya lekatkan pada manusia-manusia paling keji yaitu orang-orang kafir dan munafik. Dalam salah satu hadis Muttafaq 'alaihi : "Tanda-tanda munafiq ada tiga ; Jika berkata ia dusta, jika berjanji ia tidak menepatinya, dan jika diberikan amanah, ia khianati".4

Olehnya itu, sangat tidak pantas bagi setiap muslim untuk mengekor atau menyaingi mereka dalam ' hobi ' yang satu ini, apalagi sampai kecanduan atau dijadikan sebagai sebuah identitas.

Diantara nasehat ulama kita yang begitu indah untuk menjauhi dusta ini adalah untai nasehat Imam Ibnu Hibban rahimahullah, beliau berkata : "Sesungguhnya Allah Jalla wa'Ala lebih mengutamakan lidah dibandingkan anggota tubuh lainnya, Dia mengangkat derajatnya serta menjelaskan keutamaannya dengan cara memberikannya kemampuan berbicara yang tidak diberikan pada anggota tubuh lainnya, sebab itu tidak pantas bagi orang yang berakal menggunakan anggota tubuh yang satu-satunya Allah anugrahi kemampuan berbicara untuk melakukan kedustaan, bahkan wajib atasnya untuk terus menerus memeliharanya dengan konsisten dalam kejujuran…".5

Sayangnya, sifat yang satu ini kadang tidak bisa dipungkiri ada pada sebagian orang yang suka memvonis sesat kelompok lain yang sama-sama berpaham ahli sunnah wal-jamaah dan bermanhaj salaf. Beberapa waktu lalu, marak tersiar kabar/rekaman seorang ustadz rela menebar beberapa poin ' kedustaan ' diantaranya dengan mengait-ngaitkan salah satu ormas islam dengan ISIS. Padahal vonis ini begitu "jauh panggang dari api". Mungkin anda akan berbaik sangka bahwa 'sang ustadz' itu kurang mengikuti perkembangan berita dan informasi sehingga statemennya-pun mengada-ngada bahkan cenderung memfitnah. Namun sebagai seorang muslim, apatah lagi seorang ustadz, apabila belum tahu-menahu tentang suatu perkara, hendaknya mencamkan firman Allah ta'ala :

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦

Artinya : "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya" (QS Al-Isra' 36).

Tentang ayat ini Qatadah rahimahullah berkata : " Maknanya : Janganlah mengatakan ' saya lihat ' padahal engkau belum lihat, atau ' saya dengar ' padahal engkau belum dengar, atau ' saya tahu ' padahal engkau belum tahu".6

Bahkan apa salahnya melakukan tabayyun atau tatsabbut (verifikasi) terlebih dahulu agar tidak terjatuh dalam perbuatan fajir, Allah-lah yang lebih pantas dicamkan firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu" (QS Al-Hujurat : 6).

Akhir kalam, lagi-lagi Imam Ibnu Hibban mengingatkan : " Pucuknya dosa-dosa adalah perbuatan dusta, ia bisa menyingkap aib seseorang dan menghilangkan kebaikannya, dan sangat tidak pantas bagi seseorang yang berakal apabila mendengar sesuatu yang ia anggap sebuah aib, ia lantas membicarakan/menyebarkannya (pada orang-orang), karena orang yang menyebarkan segala sesuatu yang ia dengar, adalah orang yang menghina akalnya dan merusak citra kejujurannya sendiri".7

Wallaahu ta'ala a'lam.
Oleh Ustadz Maulana La Eda
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina)

0 komentar :

Posting Komentar