Tuduhan Kesesatan Wahdah Islamiyah Ternyata Salah Copot Fatwa Syaikh Bin Baz

Selasa, 10 Juli 2018

Tuduhan Kesesatan Wahdah Islamiyah Ternyata Salah Copot Fatwa Syaikh Bin Baz


Para ustadz-ustadz "salafy" berusaha dilejitimasi, dan dianggap paling pantas dilakukan. Bahkan oleh Ust. Lukman Ba'abduh yang banyak dipuji oleh al-akh Sofyan berusaha dibenarkan dengan hanya mencomot fatwa Syaikh bin Baz –rahimahullah-: "Namun jika sikap lemah lembut tersebut tidak bermanfaat, dan orang yang berbuat kezaliman, atau kekufuran dan kefasikan terus melanjutkan perbuatan tersebut serta tidak memperdulikan teguran dan nasehat, maka sikap yang wajib adalah menyikapi orang tersebut dengan keras serta memberikan hukuman yang pantas baginya dalam bentuk penegakkan had (baca: hukuman), ta'zir atau ancaman serta celaan sampai dia mau berhenti dari perbuatannya tersebut atau meninggalkan kebatilannya.[5]
Padahal tidak demikian yang dimaksudkan oleh Fadhilatus Syaikh bin Baz. Sikap keras dan kasar menurut beliau, harus diletakkan pada tempatnya, yaitu ketika tidak bermanfaat lagi sikap lembut dan nasehat yang baik. Sebab sebelumnya beliau –rahimahullah- mengatakan: "Tetapi bersama dengan itu, syari'at Islam tidak mengabaikan sisi kasar dan keras pada tempatnya, yaitu ketika tidak bermanfaat lagi sikap lembut serta bantahannya dengan cara baik….". Maka jelaslah di sini, bahwa Syaikh bin Baz menekankan dan mengedepankan sikap lembut dalam berdakwah. Bukan dengan kata-kata kasar, tidak beretika sebagaimana dilakukan oleh ustadz-ustadz "salafy".
Sikap keras dan tegas itu baru dilakukan setelah melalui proses tertentu dan ditujukan pada orang tertentu pula, yakni mereka yang selalu berbuat kezaliman, kekufuran dan kefasikan. Sama sekali bukan diarahkan pada para ulama yang menentang kezaliman, kekufuran dan kefasikan.[6]
Dan dari perkataan beliau –rahimahullah- di atas pula, tersirat bahwa nasehat (keras dan kasar jika sikap lemah lembut tidak lagi bermanfaat) itu diarahkan kepada orang yang masih hidup dan bukan yang telah meninggal.
Olehnya bandingkan antara fatwa di atas dengan sikap kelompok "salafy" yang terus menggeber dan membongkar aib-aib (menurut versi mereka) para ulama dan pejuang Islam yang telah lama menemui Rabb-nya. Pertanyaannya, apakah Syaikh bin Baz –rahimahullah- sebagai sang empunya fatwa mengaplikasikan fatwa beliau tersebut seperti yang dilakukan oleh ustadz-ustadz "salafy" yang hanya asal mencomot fatwa dari beliau?? Kalla.!! (sama sekali tidak.!!)…semestinya tatkala mereka ingin memahami fatwa tersebut, juga harus melihat secara langsung bagaimana aplikasinya berupa sikap dan perbuatan selama hayat beliau terhadap orang lain yang menyelisihi beliau atau terjatuh dalam kesalahan.
Perhatikan ucapan tulus yang terlontar dari Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi saat menghaturkan belasungkawa yang mendalam atas kepergian sang imam: "Sungguh ulama ummat yang paling saya cintai dimana saya enggan menyelisihinya dalam berpendapat adalah Syaikh bin Baz….". (Fi Wada' al-A'lam, hal. 62-63).
Bahkan kalau mau jujur, bahwa diantara sikap keras dan "kasar" yang pernah dipraktekkan oleh Syaikh bin Baz dalam hal memberi nasehat adalah kala beliau menegur para pendahulu ustadz-ustadz "salafy" sekitar tahun 90-an.
Saat itu beliau mengeluarkan keterangan resmi yang mengingkari dan mencela tindak-tanduk para pendahulu mereka. Begitu teguran "keras" dari Syaikh terbit, mereka lantas bersegera menghadap Syaikh meminta maaf dan memohon rekomendasi dari beliau. Dan sekali lagi, lantaran sikap lemah lembut dan arif serta tasamuh beliau, maka Syaikh pun memberi mereka tazkiyah dan juga kepada Syaikh-Syaikh lainnya yang bukan dari kelompok "salafy" tersebut. Diantara yang dikatakan Syaikh bin Baz tentang kelompok "salafy" pendahulu Sofyan Khalid dalam keterangan resmi beliau adalah sebagai berikut:
– Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menyifati Khawarij sebagai ahli bid'ah. Mereka disifati dan dinamai dengan nama mereka. Hadits tentang mereka mutawatir datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan keadaan dan karakter mereka, dimana beliau bersabda: "Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala".[7]
– Kemudian, diantara karakter Khawarij –tetapi kami tidak mengatakan mereka sebagai Khawarij- adalah kesukaan mereka yang dengan sengaja mengambil ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dan meletakkannya atas orang Islam, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Abu Said al-Khudri, dan lainnya –radhiallahu anhum-.[8]
– Cara yang mereka lakukan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya dari dua segi. Pertama, ini adalah tindakan sabotase terhadap hak-hak manusia di kalangan kaum muslimin. Bahkan lebih khusus lagi, yang diserang adalah para penuntut ilmu dan da'i yang telah mempersembahkan segala kemampuannya untuk berdakwah dan mengajar manusia untuk memahami aqidah dan manhaj yang benar. Para da'i ini juga telah bersungguh-sungguh dalam memberikan pengajian, pengajaran, dan menulis buku-buku yang bermanfaat. Kedua, ini adalah pemecah-belah kesatuan kaum muslimin dan menyobek-nyobek barisan mereka. Padahal, seharusnya mereka bersatu dan menjauhi sikap perpecahan dan saling menggunjing satu sama lain. Bayangkan, mereka mencuplik rekaman kaset ceramah seorang Syaikh, lalu juga mencuplik rekaman Syaikh lain yang membantah. Syaikh ini berkata begini dan Syaikh satunya lagi membantah. Bukankah ini adalah perpecahan?? Jadi, apa maksud semua ini? [9]
Berikut ini kami akan paparkan fatwa-fatwa ulama mu'tabar berkaitan dengan masalah ini.
Fatwa dan Nasehat berharga Syaikh bin Baz –rahimahullah- tentang adab mengkritik dan mengoreksi di kalangan para da'i Ahlu Sunnah
"Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yaitu Nabi yang terpercaya, juga bagi keluarga dan para sahabatnya serta orang yang mengikuti sunnahnya hingga hari kiamat. Amma ba'd.
Sesungguhnya Allah Ta'ala memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan serta melarang kezaliman, melanggar hak orang lain dan permusuhan. Allah telah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk menegakkan keadilan dan melarang beliau mengerjakan lawan dari keadilan berupa peribadatan kepada selain Allah, perpecahan, perceraiberaian dan pelanggaran hak-hak para hamba.
Di masa ini telah tersebar banyak orang yang dikenal dengan ilmu dan dakwah kepada kebaikan terjatuh dalam pencelaan terhadap harkat dan kehormatan banyak saudara-saudara mereka –yaitu para da'i yang sudah dikenal-. Mereka juga mencela kehormatan para penuntut ilmu, para du'at dan para khatib. Mereka melakukan demikian secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis mereka. Dan terkadang merekam pembicaraan tersebut dalam kaset-kaset yang disebarkan di tengah-tengah masyarakat. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan pada pengajian-pengajian umum di masjid-masjid. Metode yang mereka tempuh ini menyelisihi perintah Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari banyak segi:
Pertama, metode ini merupakan pelanggaran hak-hak kaum muslimin, bahkan pelanggaran terhadap hak-hak orang-orang khusus yaitu para penuntut ilmu dan da'i yang telah mengorbankan usaha mereka dalam rangka memberi nasehat kepada masyarakat, membimbing mereka, dan meluruskan aqidah dan manhaj mereka. Mereka telah bersusah payah untuk mengatur pelajaran-pelajaran dan pengajian-pengajian serta menulis buku-buku yang bermanfaat.[10]
Kedua, metode ini memecahkan persatuan kaum muslimin dan merobek barisan mereka.[11] Padahal kaum muslimin sangat membutuhkan persatuan dan menjauhi perceraiberaian dan perpecahan. Demikian pula begitu banyak isu-isu yang tersebar diantara mereka. Terlebih lagi, para da'i yang dicela termasuk kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dikenal memerangi bid'ah dan khurafat, menghadang orang-orang yang menyeru kepada bid'ah dan khurafat, serta mengungkap dan membongkar rencana-rencana jahat serta makar mereka. Kami memandang adanya mashlahat dari perbuatan seperti ini, jika diarahkan bagi musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir, munafik, atau dari kalangan ahli bid'ah, dan kesesatan lain yang senantiasa menunggu-nunggu kesempatan.[12]
Ketiga, perbuatan seperti ini membantu orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan buruk dari kalangan sekuler, para pengekor barat, kalangan atheis dan selainnya yang terkenal senang mencela para da'i dan berdusta tentang mereka, serta suka memprovokasi untuk melawan para da'i, sebagaimana tercantum dalam berbagai buku dan rekaman mereka. Bukanlah termasuk hak persaudaraan islamiyah sikap mereka yang terlalu terburu-buru –dalam mencela para da'i-. Hal ini membantu para musuh untuk menyerang saudara-saudara mereka dari kalangan para penuntut ilmu, da'i dan selainnya.[13]
Keempat, perbuatan ini menyebabkan rusaknya hati masyarakat umum, juga orang-orang khusus (para da'i dan semisalnya) sekaligus menyebabkan tersebarnya kedustaan-kedustaan dan kabar-kabar yang tidak benar. Demikian pula ia menyebabkan banyaknya perbuatan ghibah dan namimah (adu domba) sekaligus membuka pintu-pintu keburukan selebar-lebarnya, karena lemahnya jiwa yang senang menyebarkan syubhat-syubhat serta mengobarkan fitnah sekaligus giat dalam mengganggu kaum mukminin tanpa sebab yang mereka perbuat.[14]
Kelima, kebanyakan perkataan yang dilontarkan sama sekali tidak benar, namun hanya merupakan persangkaan-persangkaan keliru yang dihiasi oleh setan kepada para pengucapnya. Setan memperdaya mereka dengan hal ini, Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain". (Qs. Al-Hujuraat : 12). Seorang mukmin hendaknya membawa perkataan saudaranya sesama muslim kepada makna yang paling baik. Sebagian salaf berkata: "Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan persangkaan buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari lisan saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau arahkan pada (makna) yang baik".[15]
Keenam, segala yang lahir dari hasil ijtihad sebagian ulama dan para penuntut ilmu dalam perkara-perkara yang masih diperbolehkan ijtihad di dalamnya, maka pelakunya tidak mendapat hukuman dan tidak pula dicela, apabila ia memang layak untuk berijtihad.[16] Kalau ada orang lain yang menyelisihinya maka yang paling layak untuk dilakukan adalah berdiskusi dengan cara yang baik dalam rangka mencapai kebenaran dengan menempuh jalan terdekat. Hal ini untuk menolak was-was setan dan metode adu dombanya diantara kaum mukminin. Jika hal ini tidak terlaksana dan seseorang memandang wajib menjelaskan penyimpangan, maka hendaknya: (1). Penjelasan tersebut menggunakan ibarat yang paling baik dan yang paling halus.[17] (2). Tanpa sikap menyerang, melukai atau berlebih-lebihan dalam perkataan yang terkadang menyebabkan tertolaknya kebenaran dan berpaling dari kebenaran.[18] (3). Tanpa menyebut (nama) pelakunya,[19] (4). Atau menuduh mereka memiliki niat (buruk), atau menambah pembicaraan tanpa adanya alasan yang membenarkan hal itu. Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri bersabda dalam perkara seperti ini: "Mengapa suatu kaum mengucapkan ini dan itu…".
Nasehatku kepada saudara-saudaraku yang melakukan ghibah terhadap para da'i dan mencederai kehormatan mereka, agar bertaubat kepada Allah dari perkara-perkara yang telah ditulis oleh tangan-tangan mereka, atau yang dilafazkan oleh lisan mereka yang menyebabkan rusaknya hati sebagian para pemuda, memenuhi hati mereka dengan hasad dan dengki, serta menyibukkan mereka hingga tidak menuntut ilmu yang bermanfaat. Hendaknya mereka bertaubat dari model dakwah mereka yang dipenuhi oleh qila wa qaala (katanya…katanya…), bertaubat dari nukilan perkataan dari fulan dan fulan, mencari-cari perkara yang dianggap merupakan kesalahan orang lain dan berusaha menjerat kesalahan-kesalahan tersebut.
Sebagaimana juga saya menasehati mereka untuk menyebut (mencabut) kesalahan-kesalahan mereka dengan cara menulis atau selainnya yang menunjukkan bahwa mereka berlepas diri dari perbuatan-perbuatan seperti itu, sekaligus menghilangkan apa yang telah tertancap dalam otak orang-orang yang mendengarkan perkataan mereka. Hendaknya mereka bergerak menuju amalan-amalan yang membuahkan hasil yang baik, mendekatkan mereka kepada Allah dan bermanfaat bagi para hamba.
Hendaknya mereka menjauhi sikap tergesa-gesa dalam mengkafirkan atau memfasiq-kan atau mem-bid'ahkan orang lain tanpa penjelasan dan dalil.[20] Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang berkata pada saudara (muslim)nya: "Wahai Kafir", maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya", (Muttafaq Alaihi).
Merupakan perkara yang disyari'atkan bagi para penyeru kebenaran dan penuntut ilmu, apabila mereka tidak memahami perkataan ahli ilmu dan selainnya, maka hendaknya mereka merujuk kepada para ulama yang mu'tabar, bertanya kepada mereka agar menjelaskan perkara yang sebenarnya dengan jelas, sehingga mereka mengetahui hakikat perkaranya yang benar, juga untuk menghilangkan keraguan dan syubhat yang terdapat dalam diri-diri mereka, sebagaimana tercermin dalam firman Allah: "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkan-nya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentunya orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidak karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu)". (QS. An-Nisaa : 83).
Kepada Allah-lah kita memohon agar memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin dan menyatukan hati serta amalan mereka di atas ketakwaan. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruh ulama kaum muslimin, juga seluruh penyeru kebenaran untuk melakukan perkara yang diridhai oleh Allah dan bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Semoga Allah menyatukan kalimat mereka di atas petunjuk dan menjauhkan mereka dari sebab-sebab perpecahan dan perselisihan. 

0 komentar :

Posting Komentar