Tua adalah Hidup Disepertiga Waktu yang Terakhir

Jumat, 20 Juli 2018

Tua adalah Hidup Disepertiga Waktu yang Terakhir


MENUA

Bagiku bagaimana menjadi tua itu teramat penting, agar paham pilihan yang tepat untuk mengisinya, lalu mengakhiri hidup ini dengan cara yang Allah inginkan... Bagiku bagaimana menjadi tua itu teramat penting, karena betapa banyaknya manusia yang menjalani mudanya dengan amal-amal ahli surga namun mengakhiri hidupnya dengan amal ahli neraka... Bagiku bagaimana menjadi tua itu teramat penting, karena husnul 'amal itu sepatutnya berujung pada husnul khatimah, karena akhir itu lebih baik daripada permulaan : "Dan sungguh akhir itu lebih baik daripada permulaan" (QS Adh-Dhuhaa :  4)

Tua adalah hidup di sepertiga waktu yang terakhir, dan Islam selalu memberikan kemuliaan pada sepertiga yang terakhir : sepertiga malam terakhir, sepertiga Ramadhan terakhir, sepertiga suapan terakhir, sepertiga tahun terakhir... Tua adalah bagaikan hidup di waktu Ashar menjelang Maghrib, usia yang difokuskan untuk beriman, beramal shaleh, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Atau Si Tua akan hidup dalam kerugian : "Demi Ashar. Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali yang beriman dan berama; shaleh. Dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran (QS Al-'Ashr)

Memastikan usia tua dalam jalan kebenaran sungguh bukan hal mudah, karena setiap jenjang usia ada penggodanya sendiri. Muda mungkin digoda dengan dunia, nafsu, ledakan emosional, ambisi, egoisme dan kekeraskepalaan. Namun tua justru digoda dengan keinginan untuk keluar dari hiruk-pikuk dunia, menjauhi konflik, ingin istirahat, menjadi safety player, to be a good guys, atau menjadi moderat. Tampak indah dan bijaksana, bukan ? Ya... tapi justru di sanalah penggodanya... Sebagaimana seorang Abid digoda dengan ibadahnya... Sebagaimana seorang dermawan digoda dengan kedermawanannya...

Orang bilang tua identik dengan menjadi lebih bijak dan moderat. Ya... dan itu sesuatu banget, alhamdulillah. Tapi itu pulalah cobaan terbesarnya. Terkadang menjadi bijak dan moderat itu membuat kaum tua telah mengganti garis tegas menjadi garis putus-putus... mengganti konflik dengan kompromi... mengubah hitam-putih menjadi abu-abu... Dan cobaan bijak-moderat ini makin meraksasa di akhir jaman, jaman di mana hati dibolak-balik, istiqamah menjadi barang mahal, sedangkan Rasulullah SAW justru meminta ummatnya untuk mensikapi akhir jaman dengan garis-garis ketegasan.

Sungguh Allah telah mempertontonkan kepadaku tentang tetua-tetua yang terjerembab dalam "kebijaksanaan" dan sikap "moderat"nya. Mungkin karena mereka menyalahartikan bijak-moderat sebagai sikap pertengahan. Padahal bijak-moderat dimaknai Islam sebagai adil dan proporsional. Mereka bilang wasit adalah manusia pertengahan, sehingga ummatan wasathan adalah ummat pertengahan. Padahal wasit adalah pengadil, dan ummatan wasathan adalah ummat penegak keadilan... Dan mereka yang ekstrem kiri-kanan di masa muda, juga berpotensi ekstrem moderat saat menua...

"Celakanya", ternyata menjadi Muslim tua di masaku akan berhadapan dengan cobaan dan godaan MODERAT TERSTRUKTUR. Ada yang menguji sikap-sikap tuaku dengan istilah radikalisme, intoleran, dan anti-kebihinnekaan. Sungguh ketuaanku tak suka dengan istilah-istilah itu dan menghindari sikap-sikap semacam itu. Lalu, telah disediakan pula untuk kaumku Agama Rahmatan Lil-'alamin yang kini resmi bernama Islam Nusantara yang santun, lembut, toleran, pertengahan, ramah-tamah. Haruskah aku bertekuk lutut dengannya agar aku tampak telah benar-benar menjadi tua, moderat  dan menjadi bijak ?

Beberapa tetua tampak telah bertekuk lutut. Mungkin karena mereka telah lelah berkelahi di masa muda. Telinga tua mereka sudah tak sanggup lagi mendengar suara bising pertengkaran tak berujung. Padahal di usia yang sama Rasulullah SAW baru mulai berperang, mendengar bisingnya suara pedang beradu, dan mengusir kaum Yahudi. Yaa Rabbii... matikanlah aku dalam husnul khatimah, aamiin...

Ditulis Oleh Ust.Adriano Rusfi

0 komentar :

Posting Komentar